Jumat, 30 Maret 2012

MOTIVASI OLAHRAGA

MOTIVASI DALAM PRESTASI OLAHRAGA

A. PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan di dalam pembinaan olahraga merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pembina olahraga di Indonesia. Sentral permasalahan pembinaan olahraganya sendiri di Indone sia menjadi rancu. Sebagian orang berpendapat bahwa atlet kurang termotivasi untuk berprestasi. Sehingga, berbagai upaya diarahkan untuk meningkatkan motivasi atlet ter masuk di dalamnya memberdayakan motivator dengan harapan agar atlet lebih termotivasi untuk berprestasi. Ha nya sayangnya sampai saat ini dampak pemberdayaan moti vator belum juga dirasakan. Karena pertama mungkin ru musan motivasi itu sendiri belum terlalu jelas; seolah-olah dengan sekedar membangkitkan semangat juang seperti Joan of Arc membangkitkan semangat perang para prajurit nya sudah cukup untuk menggerakkan sedemikian banyak orang untuk berperang. Kedua, motivasi mungkin bukan satu-satunya faktor yang menjadi kendala bagi atlet untuk berprestasi, karena di dalam olahraga setidaknya sejumlah aspek seperti kognisi, emosi, dan perilaku, di samping motivasi memiliki peran yang sama pentingnya dalam mempengaruhi prestasi atlet . Ketiga, motivasi baik itu sifatnya intrinsik maupun ekstrinsik, harus terarah pada suatu sasaran tertentu. Karena, tanpa adanya sasaran tertentu, arah perilaku seseorang menjadi tidak jelas. Keempat, motivasi mengacu pada adanya kebutuhan seseorang yang dilandasi oleh kepribadian individu yang bersangkutan. Karenanya, motivasi tidak bisa digeneralisasikan bagi semua orang melainkan harus ditinjau secara khusus dari satu individu ke individu lainnya. Selanjutnya, motivasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang amat kompleks, termasuk di dalamnya intensitas atau besarnya tekanan (stress) yang menghambat seseorang untuk mengembangkan motivasinya. Keenam, aspek komunikasi antara atlet, pelatih dan pengurus berdampak signifikan untuk membangkitkan motivasi atlet untuk berprestasi. Ketujuh, peran berbagai pihak sangat diharapkan untuk meningkatkan kinerja olahraga dari seorang atlet. Sebagai contoh, di dalam program pembinaan olahraga perlu diikut sertakan secara khusus program latihan men tal yang meliputi hal hal seperti relaksasi, peningkatan kinerja olahraga melalui latihan imajeri, latihan konsentrasi dan upaya meningkatkan kinerja olahraga dengan mening katkan rasa percaya diri. Kedelapan, berbagai fasilitas untuk mengatasi problematik psikologis atlet perlu diadakan, termasuk di antaranya pro gram konseling dan upaya mengatasi kondisi "burn-out dan cedera fisk maupun psikis. Dan hal yang selama ini mungkin agak terlupakan atau dilupakan adalah pertimbangan bahwa suatu saat karir seorang olahragawan harus berakhir karena berbagai macam alasan. Hal ini perlu menjadi perhatian para pembina olahraga di Indonesia. Atlet serta pelatih yang telah mengakhiri tugasnya di dalam biding keolahragaan harus tetap dapat hidup di tengah masyarakat. Bahkan jika mungkin, mereka yang telah memiliki jasa membawa nama bangsa dan negara di berbagai gelanggang olahraga perlu memperoleh penghargaan khusus yang dapat memberikan jaminan hidup bagi mereka. Tanpa ada nya arah hidup yang jelas seusai karirnya sebagai atlet atau pelatih, seorang olahragawan atau pelatih akan senantiasa dihantui rasa tidak aman untuk menghadapi masa depannya. Dan rasa tidak amannya ini berdampak signifikan terhadap perilakunya dalam mengikuti kegiatan pembinaan olahraga. Karena sesungguhnya, olahraga juga merupakan sebuah karir yang ditempuh oleh seseorang untuk memperoleh tempat hidup yang layak di masyarakat, baik pada saat kini maupun di masa depan
Dari berbagai kondisi yang ada yang memiliki dampak signifikan di dalam usaha seorang atlet mencapai prestasi puncak, jelaslah bahwa paradigma motivasi tidak bisa diterapkan secara sepihak, searah dan pada konteks yang sempit karenanya, paradigma ini harus diubah dengan cara pandang yang berbeda, dan melalui cara pandang yang berbeda inilah diharapkan akan lebih tampak aspek-aspek tertentu yang perlu mendapat perhatian dari pihak pembina olahraga dalam menerapkan program peningkatan motivasi atlet dalam upaya meningkatkan prestasi mereka di arena kejuaraan nasional maupun internasional. Penampilan seorang atlet tidak bisa dilepaskan dari daya dorong yang dia miliki. Sederhananya, semakin besar daya dorong yang dimiliki, maka penampilan akan semakin optimal, tentu saja jika ditunjang dengan kemampuan teknis dan kemampuan fisik yang memadai. Daya dorong itulah yang biasa disebut dengan motivasi.Menurut Hodgetts dan Richard (2002) motif adalah sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah dari perilaku seseorang. Sedang motivasi adalah motif yang tampak dalam perilaku. Motif lah yang memberi dorongan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Hampir semua aktivitas manusia didorong oleh motif-motif tertentu yang bersifat sangat individualis.
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu. Sedangkan menurut Gray (dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
B. PEMBAHASAN
1. Motivasi
Secara garis besar, ada dua jenis motivasi jika dilihat dari arah datangnya; yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang datang dari dalam diri individu. Sebagai contoh keinginan untuk mendapat poin sempurna dalam sebuah kejuaraan senam, atau keinginan untuk menyelesaikan sebuah handicap dalam olahraga motocross. Motivasi yang datang dari dalam diri individu tanpa campur tangan faktor luar inilah yang biasa disebut sebagai motivasi intrinsik.
Motivasi ekstrinsik biasa didefinisikan sebagai motivasi yang datang dari luar individu. Keinginan mendapat penghargaan, uang, trophi dan sebagainya merupakan contoh-contoh motivasi yang berasal dari luar individu. Secara umum, motivasi ekstrinsik lebih sering berbentuk kebendaan atau juga pujian.
Meskipun berbeda, kedua jenis motivasi ini sesungguhnya saling berkait satu sama lain dan bentuknya yang saling berubah-ubah. Motivasi intrinsik bisa muncul akibat adanya penghargaan yang menjadi iming-iming pun demikian dengan sebaliknya. Motivasi ekstrinsik adalah kelanjutan dari adanya motivasi intrinsik yang mengawali seseorang melakukan sebuah aktivitas.
Memang banyak ahli yang mengatakan bahwa motivasi intrinsiklah yang sebenarnya diperlukan oleh seorang atlet dalam setiap penampilannya. Karena motivasi intrinsik lebih bersifat tahan lama dibanding motivasi ekstrinsik. Mudahnya, motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan hilangnya hadiah, reward, atau uang yang diinginkan, tapi tidak demikian jika yang dimiliki adalah motivasi intriksik. Namun sekali lagi, kedua jenis motivasi ini saling bertumpuk dan mempengaruhi satu sama lain. Aspek motivasi merupakan aspek yang paling banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga (Weiberg & mould, 1995). Motivasi berasal dari kata bahasa Latin “movere" yang artinya bergerak. Alderman (1974) men definisikan motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu, dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku dapat dicapai (p. 186). Sifat selektif dari perilaku berarti individu yang berperilaku membuat suatu keputusan untuk memilih tindakannya. Arah tertentu dari perilaku artinya tindakan yang dilakukan memiliki suatu tujuan sesuai dengan keinginan. Adapun yang dimaksud dengan konsekuensi adalah suatu kondisi negatif yang diperoleh individu jika is tidak melakukan perilakunya tersebut. Sage (1977) secara lebih sederhana mengemukakan bahwa motivasi adalah arah dan intensitas usaha seseorang. Yang dimaksud dengan arah usaha adalah situasi yang menarik dan membangkitkan minat seseorang sehingga ada upaya orang tersebut untuk mendekatinya. Sedangkan intensitas adalah besarnya upaya seseorang untuk dapat mendekati situasi atau kondisi yang diminatinya.Di dalam proses pembinaan olahraga ada beberapa bentuk motivasi yang harus dibedakan. Yang pertama adalah motivasi secara umum, artinya motivasi seseorang untuk melibatkan diri di dalam suatu aktivitas tertentu dalam upaya memperoleh hasil atau mencapai sasaran tertentu (Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986). Yang kedua adalah motivasi untuk berprestasi (achievement moti vation), yaitu orientasi seseorang untuk tetap berusaha memperoleh hasil terbaik semaksimal mungkin dengan dasar kemampuan untuk tetap bertahan sekalipun gagal, dan tetap berupaya menyelesaikan tugas sebaik-baiknya karena is merasa bangga untuk mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (Gill, 1986). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Murray (1938) bahwa motivasi adalah upaya seseorang untuk menguasai tugasnya, mencapai hasil maksimum, mengatasi rintangan, memiliki kinerja lebih baik dari orang lain, dan bangga terhadap kemampuan yang dimilikinya. Selanjutnya, ada motivasi yang berorientasi untuk menguasai orang lain (power motivation), motivasi untuk mampu bertindak secara kompeten dalam menghadapi situasi yang ada (ef fectance motivation) (Morgan, et al, 1986), dan motivasi untuk aktualisasi diri (self-actualization motivation) (Maslow, 1954). Dari beberapa contoh bentuk motivasi di atas perlu kiranya dipertimbangkan bahwa penekanan motivasi semata-mata untuk berprestasi .(task oriented) melalui motivasi untuk berprestasi mungkin tidak cukup. Kalaupun seseorang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (landasan achievement motivation) namun justru peluangnya untuk memiliki kuasa terhadap orang lain (power motiva tion) tidak terpenuhi, is tidak akan cukup puas dengan penampilannya.

2. Sumber motivasi
Sejumlah pakar (Anshel, 1997; Duda, 1993; Weinberg & Gould, 1995) mengemukakan adanya beberapa sumber antara lain Orientasi Pelaku (Trait Centered / Participant Centered ori entation), Orientasi Situasional/ Lingkungan (Situation Centered ori entation) Orientasi Interaksional (Interactional orientation)



3. Teori Motivasi
Teori Kebutuhan Berprestasi (Need Achievement)
Menurut beberapa studi kepribadian, salah satu karakteristik yang menentukan kesuksesan atlet adalah tingginya kebutuhan untuk berprestasi (Cox, 1995). Kebutuhan ini dikenal sebagai Achievement Motivation (motivasi berprestasi). Orientasi teori ini dilandasi oleh sukses berdasarkan persepsi atlet.
Berkaitan dengan teori ini ada dua orientasi atlet. Atlet yang berorientasi pada ego (ego-oriented) dan atlet yang berorientasi pada penguasaan keterampilan (mastery ori ented). Atlet yang berorientasi pada ego cenderung mempersepsi sukses berdasarkan kemenangan dan ke mampuan mengungguli lawan (Duda, 1993), sedangkan yang berorientasi pada penguasaan keterampilan memper sepsi sukses lebih berdasarkan kepuasan menikmati aktivitas olahraganya (Roberts, 1993).
Alderman (1974) membedakan kebutuhan berprestasi (need achievement) dengan motivasi untuk berprestasi (mo tive for achievement). Seseorang dapat memiliki kebutuhan berprestasi tinggi tetapi tidak memiliki cukup motivasi untuk berprestasi tinggi. Sebagai contoh, seorang atlet ingin menjadi juara atau menempati ranking utama di cabang olahraga yang digelutinya, namun keinginannya tersebut tidak didukung oleh usahanya yang cukup. Misalnya, ia tidak disiplin dalam mengikuti latihan.
Dalam kaitannya dengan hal ini Atkinson (1974) dan McClelland (1961) telah lama mengajukan teori motivasi yang didasari oleh pemenuhan kebutuhan (need achievement theory) yang memiliki komponen: kepribadian individu yang bersangkutan, faktor situasional, kecenderungan hasil, reaksi emosi, dan perilaku untuk berprestasi, yang kesemuanya saling terkait satu sama lain seperti paradigma di bawah ini:
4. Kompetensi
White (1959) mengemukakan bahwa pada hakikatnya seseorang sejak dilahirkan ingin memiliki kemampuan (kompetensi) dalam berhubungan dengan lingkungannya. Adalah hakiki bahwa manusia ingin menguasai ling kungannya. Jika ia berhasil, ia merasa gembira dan senang. Adapun imbalan prestasi mereka adalah kesenangan inter nal (internal pleasure).
Harter (1981) mengemukakan bahwa seorang atlet akan berusaha untuk mampu menguasai keterampilan dalam cabang olahraganya. Jika is mampu, is merasa lebih percaya diri, dan perasaan ini selanjutnya akan menjadi penguat baginya untuk mengulangi kembali perilaku olahraganya. Jadi menurut pandangan teori ini, seorang atlet perlu memiliki keyakinan dan rasa percaya diri bahwa ia mampu menguasai cabang olahraganya. Dengan demikian ia akan melakukan aktivitas olahraganya dengan senang, dan motivasinya untuk melakukan aktivitas tersebut pun tinggi. Sebaliknya jika ia tidak yakin bahwa is telah menguasai bidang olahraganya, motivasinya untuk beraktivitas olahraga tersebut kurang kuat; kalaupun is melakukannya, kesenangannya tidak sebesar jika ia merasa mampu melakukannya.

5. Teori Carron
Carron (1984) beranggapan bahwa aspek pelaku dan aspek situasional sama pentingnya. Sebagian aspek ini dapat berubah sesuai dengan kendali atlet yang bersangkutan atau pelatihnya, sebagian lagi merupakan aspek yang tidak dapat diubah. Aspek yang tidak dapat diubah bukan berati tidak dapat berubah. Yang dimaksud tidak dapat diubah adalah dalam pengertian tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan atlet maupun pelatih.
Carron mengemukakan apek-aspek tersebut terdiri dari: 1) aspek individu yang dapat diubah, 2) aspek individu yang tidak dapat diubah, 3) aspek situasional yang dapat diubah, dan 4) aspek situasional yang tidak dapat diubah.
Aspek individu yang dapat diubah meliputi lima faktor yaitu: 1) insentif, 2) analisa hasil, 3) motivasi intrinsik, 4) harapan orang lain, 5) rasa percaya diri. Hal lainnya yang terluput dari Carron adalah adanya Social loafing, yaitu menurunnya usaha individu karena kehadiran orang lain (Hardy, 1990). Social loafing hanya muncul jika ada lebih dari satu orang melakukan tugas yang sama secara bersama- sama. Biasanya hal ini terjadi karena individu tidak lagi merasa perbuatannya penting karena ia hanya menjadi bagian dari kelompok. Dengan kata lain, makna indivi dualitas individu tenggelam di dalam makna kelompok; atau identitas dirinya tenggelam di dalam identitas kelompok.
Aspek individu yang tidak dapat diubah meliputi berbagai kecenderungan psikologis sebagai hasil belajar dan relatif menetap serta merupakan ciri spesifik individu dalam menghadapi situasi tertentu. Sebagai contoh sejumlah atlet memiliki kecenderungan kompetitif yang lebih besar daripada atlet lainnya. Di lain fihak, ada atlet yang menunjukkan kecemasan yang lebih tinggi daripada atlet lainnya.
Adalah penting bagi pelatih untuk mempertimbangkan serta memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan yang merupakan ciri khas individu ini. Kecenderungan ke-cenderungan yang positif dari atlet dapat lebih diperhati kan untuk dijadikan salah satu kunci penerapan strategi atlet dalam bertanding. Karena berbagai keunikan talenta atlet sebagai individu dapat dijadikan alat untuk mengatasi atau sekurang-kurannya mengimbangi keterbatasan atlet.
Faktor situasional yang dapat diubah meliputi berbagai kondisi yang dapat dimanipulasi oleh pelatih. Dengan menggunakan hadiah berupa "token", menentukan sasaran secara lebih spesifik, memvariasikan program latihan dan penguat sosial, seorang pelatih dapat mengubah situasi latihan atau pertandingan dari kondisi yang kurang menarik bagi atlet menjadi kondisi yang lebih menarik. Sebagai contoh dalam penguat sosial misalnya komentar positif yang dilontarkan oleh pelatih dapat menimbulkan perubahan sikap pada atlet sehingga atlet menjadi lebih termotivasi untuk mengikuti latihan.
Faktor situasional yang tidak dapat diubah meliputi faktor seperti kondisi alami lapangan pertandingan, penonton, serta supporter pertandingan. Bagi sebagian atlet teriakan penonton justru dapat membangkitkan semangat tanding mereka sekalipun teriakan tersebut mungkin serupa dengan cemooh penonton. Sebaliknya bagi sebagian atlet lainnya hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Penonton Indonesia dalam pertandingan bulutangkis di Istora Senayan Jakarta misalnya cukup "ditakuti" oleh sejumlah pemain asing karena pekikan mereka dapat meruntuhkan moral pemain atau sekurang-kurangnya mengganggu konsentrasi pemain. Namun hal ini tidak dapat diubah oleh pemain maupun pelatih. Sebaiknya pemain harus berlatih mampu mengadaptasi diri terhadap kondisi yang sudah ada tersebut.

  1. Mitos Motivasi
Berbagai upaya seringkali dilakukan oleh pelatih dalam rangka meningkatkan motivasi atlet. Namun upaya-upaya yang dilakukan tersebut sering tidak mempertimbangkan dampaknya atau kurang didasari pada kenyataan yang ada di lapangan oleh mitos belaka. Hal ini berakhir bahwa hasil yang dicapai berkebalikan dengan harapan. Jadi, pada akhirnya atlet tidak menjadi termotivasi untuk bertanding, sebaliknya mereka menjadi antipati, enggan, cemas, atau malas untuk menampilkan kinerja olahraga seperti yang diharapkan (Anshe1,1997).
  1. Memberi hukuman dengan tambahan porsi latihan fisik
Pelatih adakalanya menerapkan hukuman fisik seperti push-up beberapa kali, atau berlari dengan tambahan putaran ekstra akibat pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh atlet, misalnya terlambat latihan. Hal ini ternyata bukan memperbaiki kinerja atlet bahkan sebaliknya buruk
Perlakuan ini harus dihindari dengan alasan sebagai berikut:
- Aktivitas latihan fisik hendaknya diasosiasikan dengan suatu keadaan yang menyenangkan, sehingga kegiatan fisik menjadi kegiatan yang menggembirakan. Jika latihan fisik diasosiasikan dengan hukuman, persepsi dan kesan yang diperoleh atlet terhadap kegiatan latihan menjadi rancu. Sehingga pada suatu saat apabila atlet diharapkan untuk menambah porsi latihannya demi peningkatan prestasinya, ia mengalami penurunan motivasi karena penambahan porsi latihan biasanya terkait dengan hukuman. Sebaliknya jika latihan fisik dijadikan ajang kegiatan yang menyenangkan dan tidak pernah dikaitkan dengan memanfaatkannya sebagai hukuman, pelatih akan lebih mudah mening katkan motivasi atlet berlatih fisik sesuai dengan kebutuhan.
- Tujuan hukuman adalah mencegah munculnya perilaku yang tidak diharapkan; dan hukuman hendaknya merupakan bentuk pengalaman yang tidak menye nangkan. Tidak mengikut sertakan atlet dalam kompetisi akibat kesalahan atau perilaku indisipliner merupakan bentuk hukuman yang lebih efektif daripada mem berikan porsi latihan fisik tambahan.



  1. Nasehat pra kompetisi
Pelatih sering berusaha ekstra keras untuk memberikan nasehat pada atlet menjelang pertandingan dalam rangka mempersiapkan atlet secara lebih baik pada menjelang pertandingan. Namun ternyata tidak semua atlet menyukai hal tersebut. Sejumlah atlet lebih menyukai ketenangan bahkan memilih untuk menyendiri untuk lebih mampu berkonsentrasi kelak dalam pertandingan. Memaksakan memberikan nasehat kepada atlet menjelang pertandingan dapat menimbulkan hasil yang bertentangan dengan harapan. Karenanya, keunikan masing-masing atlet perlu dipertimbangkan dalam memberikan nasihat menjelang pertandingan.

  1. Merendahkan kemampuan lawan
Pelatih seringkali berusaha meningkatkan rasa percaya diri atlet dengan memotivasinya melalui cara menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tangguh daripada lawan. Atau pelatih memberikan gambaran bahwa lawan yang dihadapi adalah lemah. Hal ini ternyata tidak memberikan dampak positif bahkan sebaliknya karena berbagai alasan seperti:
- Jika atlet ternyata menyadari pernyataan pelatih tidak benar, ia merasa dibohongi
- Jika ternyata atlet tetap kalah sekalipun pelatih telah memberikan gambaran bahwa lawannya lebih lemah, atlet yang bersangkutan merasa kekalahannya semakin besar, penampilannya semakin mengecewakan dan harga dirinya semakin rendah.
- Adalah sikap yang tidak realistis menganggap seseorang lawan lemah tanpa mempertimbangkan kekuatannya, karena setiap petarung memiliki peluang untuk menang.
- Atlet masing-masing memiliki empati dan perasaan menghargai secara timbal balik. Sejumlah atlet merasa bahwa mengkritik lawan secara berlebihan adalah tidak etis.

  1. Tujuan utama adalah menang
Banyak pelatih, namun terutama pengurus, menekankan pentingnya menang. Bahkan sebagian pengurus seolah-olah memaksakan atlet untuk selalu menang. Hal ini sesung guhnya dapat menjadi beban tuntutan yang sangat berat bagi atlet. Berbagai penelitian menyatakan bahwa menekan kan pentingnya untuk tampil sebaik mungkin lebih memberikan dampak positif dalam memotivasi atlet daripada menekankan atlet untuk semata-mata menang.

  1. Memperlakukan anggota secara berbeda
Beberapa pengurus dan pelatih memiliki kecenderungan menganak-emaskan atlet-atlet tertentu dengan berbagai alasan. Sikap ini cenderung melahirkan inkonsistensi dalam penetapan aturan. Inkonsistensi aturan cenderung me nurunkan motivasi atlet secara umum, termasuk atlet yang dianak-emaskan.


  1. Tidak mengeluh berarti bahagia
Diam dan tidak mengeluh seringkali dianggap sikap yang tidak bermasalah. Hal ini belum tentu demikian. Atlet yang sama sekali tidak mengeluh belum tentu merasa bahagia dengan program yang dijalankannya. Karena bisa terjadi mereka yang bersikap demikian justru memiliki sikap masa bodoh dan tidak perduli dengan hasil yang mereka capai, sehingga tidak ada upaya lebih jauh untuk senantiasa memperbaiki peringkat prestasi yang dicapai.

  1. Atlet tidak banyak tahu
Banyak pelatih beranggapan bahwa pengetahuan mereka jauh melebihi atlet; di samping itu mereka juga menganggap pengetahuan atlet masih sangat dangkal dan penuh dengan ketidak-tahuan. Tetapi yang sering terjadi adalah pelatih mengalami berbagai hambatan dalam menghadapi atlet, sebaliknya atlet mampu memanipulasi, mengkontrol, mengendalikan pelatih dalam membuat keputusan. Fisher et al. (1982) mengemukakan bahwa pelatih yang memiliki pengetahuan lebih banyak adalah mereka yang biasanya menyempatkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan atletnya. Jadi, di samping mereka memiliki dasar pengetahuan teoretis, mereka juga mampu memanfaatkan atlet sebagai nara sumber praktis.

  1. Ceramah pasca pertandingan
Adalah biasa pelatih atau pengurus memberikan masukan pada atlet seusai atlet bertanding. Sebagian memberi pujian atas keberhasilan atlet, sebagian lain memberikan teguran atas kesalahan atlet selama bertanding. Padahal dalam situasi ini atlet masih merasa lelah. Informasi teknis untuk memperbaiki diri tidak tepat disampaikan pada periode pasta pertandingan. Sebaliknya dalam kondisi lelah, atlet menjadi lebih peka terhadap kondisi emosi dan suasana hati. Teguran teknis yang bersifat negatif cenderung memberikan dampak "traumatis", perasaaan sakit hati, pada diri atlet. Jadi, perlakuan seperti ini perlu dipertim bangkan secara lebih seksama.
Karenanya dalam memberikan pengarahan pasca tanding hendaknya mempertimbangkan tenggang waktu yang lebih rasional antara saat usai pertandingan dan saat pemberian pengarahan.

  1. Napoleon Complex
Istilah Napoleon Complex berlaku bagi pelatih yang cenderung menunjukkan sikap otoriternya sebagai salah satu bentuk kompensasi keinginan pribadinya untuk dihargai oleh orang lain (Anshel, 1997). Banyak pakar kepribadian menyatakan bahwa sikap Napoleon yang "bossy" merupakan kompensasi terhadap tubuhnya yang tergolong kerdil.
Sikap pengurus dan pelatih yang menunjukkan ke kuasaan cenderung menurunkan motivasi atlet. Akibat sikap seperti ini pada diri atlet dapat muncul perasaan tertekan, kehilangan minat untuk mendengarkan ceramah dan wejangan pengurus ataupun pelatih, bahkan mereka seringkali merasa muck dengan perilaku pengurus dan pelatih mereka.

  1. Menanamkan rasa takut
Sejumlah pengurus dan pelatih cenderung menanamkan rasa takut pada diri atletnya dalam upaya mengendalikan atlet supaya mereka mau melakukan apa yang diperintah kan pengurus atau pelatih. Hal ini sesungguhnya menurun kan motivasi atlet untuk berpartisipasi secara lebih aktif, karena mereka merasa tidak nyaman berada di dalam lingkungan yang mengancam, menekan, otoriter.
Adalah sesuatu hal amat bertentangan jika atlet diajarkan untuk takut, sementara dalam bertanding mereka diharap kan untuk berani.

  1. Strategi memotivasi atlet dan kelompok (tim)
Hubungan pelatih dengan atlet merupakan hal yang amat penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya pelatih membangkitkan motivasi atlet. Hoehn (1983) serta Fuoss dan Troppmann (1981) mengemukakan berbagai hal yang perlu dimiliki oleh seorang pelatih dalam membina hubungan dengan atletnya adalah:
  • Mampu berkomunikasi secara effektif
  • Memiliki kemahiran mengajar dan melatih
  • Mampu membangkitkan gairah semangat atlet, mem berikan pujian pada atlet lebih menekankan keunggulan individu daripada kelemahan yang dimilikinya.
  • Terorganisir dan berperilaku terkendali
  • Menyertakan sikap humor
  • Mengembangkan sikap Baling menghargai di antara pelatih, assisten dan atlet
  • Peka terhadap perlunya saat istirahat, cuti, liburan
  • Mengembangkan sikap kepemimpinan di antara kelompok atletnya
  • Memberikan masukan yang wajar atas kekeliruan atlet, sebaliknya juga atas keberhasilan atlet
  • Tahu membatasi diri dan bersikap konsisten dalam menerapkan disiplin
  • Tidak mempermalukan, mengintimidasi, dan meng kritik pribadi atlet

Di samping hal-hal di atas, berbagai teknik juga dapat digunakan untuk memotivasi atlet mencapai prestasi maksimalnya (Anshel, 1997) seperti misalnya:
  • Saling mengenal di antara sesama anggota tim
  • Terencana
  • Berorientasi ke masa depan
  • Mengembangkan keterampilan
  • Memberikan penghargaan
  • Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras
  • Mencari kesamaan pandangan
  • Membuat kegiatan menjadi menarik misalnya dengan memvariasikan kegiatan latihan
  • Bersikap konsisten terutama dalam menetapkan aturan
  • Tidak beranggapan menang adalah segala-galanya tetapi lebih menekankan pada faktor usaha
  • Waspada terhadap kecenderungan berpikir negative

  1. Motivasi Kelompok
Perlu dipertimbangkan bahwa seorang atlet biasanya merupakan bagian dari kontingen atau sekurang-kurangnya merupakan bagian dari kelompok cabang olahraganya. Kondisi kelompok biasanya juga mempengaruhi kondisi individu yang ada di dalam kelompoknya. Karenanya persahabatan antar anggota kelompok, penanaman rasa saling percaya, saling menghargai dan upaya memper tahankan keharmonisan kelompok adalah penting (Anshel, 1997). Sejumlah hal berikut ini perlu dipertimbangkan dalam upaya memotivasi kelompok.

  1. Sasaran
Sekalipun setiap individu memiliki sasaran (goal) masing- masing dalam berperilaku, hendaknya sasaran individu tidak terlalu menyimpang dari kelompoknya dalam kinerja olahraga. Ketidakserasian sasaran antara perilaku individu dengan perilaku kelompok dapat menimbulkan perten tangan dan perselisihan antar anggota kelompok yang kemudian dapat memicu munculnya klik di dalam kelompok. Hal ini menyebabkan pelatih akan mengalami kesulitan menumbuhkan motivasi dalam kelompok. Sebaliknya akan terjadi perpecahan antar anggota kelompok. Karenanya, hendaknya diskusi antara pelatih dan antar anggota kelompok perlu terus menerus dibina untuk menyatukan pandangan serta langkah menuju sasaran.

  1. Kepemilikan (Rasa memiliki)
Anggota kelompok hendaknya memiliki rasa memiliki secara bersama. Untuk itu, pelatih perlu menjelaskan dasar -dasar usaha dan orientasi sasaran usaha. Pelatih juga perlu menjelaskan perlunya usaha bersama untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Tanpa adanya komunikasi dan perumusan yang jelas dari pelatih, atlet dapat mengalami perasaan kurang memiliki, atau bahkan merasa bukan bagian dari kelompoknya sehingga motivasinya pun akan sulit untuk ditumbuhkan.
Di atas telah disinggung tentang kemungkinan muncul nya social loafing atau hilangnya identitas pribadi di dalam kegiatan kelompok. Hal ini perlu diantisipasi oleh pelatih agar jangan sampai atlet sebagai individu kehilangan iden titasnya karena ia hanya merupakan bagian dari kelom poknya. Karenanya penghargaan sebagai individu (indi vidual recognition) perlu untuk senantiasa diperhatikan.

  1. Kesatuan dalam perbedaan
Prinsip ini kurang lebih sama dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Setiap individu dalam kelompok memiliki keunikan masing-masing. Adalah tugas seorang pelatih untuk menyatukan berbagai perbedaan antar individu sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi, dan bukan membangkitkan perpecahan antar anggota karena perbe daan di antara mereka.

  1. Waspada akan peran
Adalah penting bagi pelatih untuk memberikan peran tertentu pada atletnya. Atlet cenderung kurang memiliki motivasi untuk berlatih atau bertanding karena ia merasa kurang memiliki peran di dalam kelompoknya. Sebaliknya, jika atlet merasa dirinya memiliki peran penting di dalam regunya, is cenderung merasa lebih berarti berada di tengah -tengah regunya, dan motivasinya lebih mudah dibangkitkan karena fungsinya di dalam regu adalah juga sebagai pembangkit motivasi anggota lainnya.

  1. Interaksi terencana
Interaksi antar anggota tim perlu didasari oleh rencana. Anshel (1997) mengajukan beberapa contoh diantaranya sesekali mengganti teman sekamar, rekan sekerja, atau pasangan dalam permainan. Juga dapat dilakukan perubahan susunan anggota kelompok dalam latihan, dalam perjalanan atau dalam melakukan tugas-tugas harian. Hal ini tidak dimaksudkan misalnya sekedar untuk menemukan pasangan yang tepat dalam permainan ganda, melainkan dimaksudkan untuk masing-masing atlet belajar berinteraksi dengan berbagai macam individu dengan kepribadian yang berbeda.


  1. Membina komunikasi
Membina komunikasi di dalam kelompok adalah amat penting. Pelatih yang menyediakan terlalu sedikit waktu untuk berkomunikasi dengan atletnya sebaiknya jangan terlalu berharap ia akan mampu meningkatkan motivasi atletnya. Kesenjangan hubungan komunikasi berdampak pada kesenjangan hubungan emosional. Kesenjangan hubungan emosional merupakan hambatan bagi upaya mempersiapkan mental atlet dalam bertanding, termasuk di dalamnya memotivasi atlet.
Di samping hal-hal tersebut di atas, pelatih adakalanya kurang memperhatikan atlet cadangan. Padahal merekapun dapat berpeluang menjadi kunci kemenangan (Anshel, 1997). Para pemain cadangan sering kali mengalami gangguan psikologis dalam bentuk frustrasi, perasaan terasing, kehilangan rasa percaya diri, tidak cukup dipercaya, memiliki atribut sebagai warga kelas dua di dalam kelompoknya, dan lain-lain (Tutko & Bruns, 1976). Jadi, sebaiknya merekapun memperoleh perhatian yang cukup dari pelatihnya melalui sejumlah pendekatan:
  • Memberikan perasaan berarti dan menganggap mereka sama pentingnya dengan atlet utama
  • Memberikan pengertian bahwa mereka pun memberikan sumbangan berarti bagi regunya
  • Memberikan kesempatan lebih banyak kepada mereka untuk meningkatkan kemampuannya dan menunjukkan keterampilannya di dalam situasi kompetisi
  • Mempromosikan mereka ke arah positif
Jika pelatih memperlakukan mereka dengan cara-cara demikian, rasa percaya diri mereka akan tumbuh, dan mereka merasa bagian dari tim sekalipun mungkin peran mereka tidak sebesar peran pemain utama. Jika mereka merasa sebagai bagian dari tim, mereka lebih mempunyai rasa memiliki terhadap tim, dan motivasi mereka akan lebih mudah dibangkitkan untuk meningkatkan prestasi sehingga kelak mereka dapat dibina menjadi kader masa depan.
Akhirnya yang perlu juga dicatat adalah, pelatih hendaknya menanamkan motivasi yang realistik terhadap atletnya. Atlet juga mampu berpikir jernih, memiliki perasaan yang peka, dan memiliki keterampilan sesuai dengan apa yang telah dipelajari dan dicapai. Berusaha membangkitkan motivasi atlet melalui pernyataan ideal biasanya tidak memberikan hasil seperti harapan, bahkan sebaliknya atlet merasa menghadapi suatu ketidak mungkinan. Akibatnya mereka justru menjadi kurang termotivasi.
Jadi hendaknya pelatih melakukan upaya mem bangkitkan motivasi atlet dengan memberikan penjelasan secara realistis, menaruh harapan pada atletnya secara realistis dan melakukan evaluasi serta memberikan umpan balik secara realistis pula.
C. PENUTUP
Dalam rangka pembinaan terhadap atlet muda, upah yang baik untuk lebih memacu motivasinya untuk me nang adalah pujian dan perasaan senang atau bangga ter hadap usaha-usahanya dalam permainan yang telah diperli hatkan sebaik-baiknya tanpa terlalu menekankan keme nangan sebagai tolok ukurnya.
Pendekatan perorangan yang memperhatikan segi psikis dengan sikap penuh pengertian dan penghargaan akan usaha yang telah diperlihatkan, khususnya pada atlet muda usia, sangat diperlukan untuk memupuk motivasi agar bermain "all out" dalam. setiap pertandingan. Pelatih dan pembina perlu mengetahui dasar timbulnya atau ter hambatnya motivasi para atlet dan dalam hal ini bisa dila kukan dengan:
  1. Berbicara dan mendiskusikan penampilan atlet. Dalam hal ini perlu memperhatikan waktu yang tepat, artinya atlet sudah dalam keadaan siap untuk mendiskusikan permainannya.
  2. Melakukan pengamatan terhadap atlet pada waktu la tihan, pertandingan atau dalam kehidupan dan pergaul an sehari-hari.
Dalam percakapan untuk tujuan memotivasi atlet, be berapa hal perlu diperhatikan:
  1. Harus yakin apakah memang diperlukan percakapan.
  2. Perencanaan yang matang apa yang akan disampaikan atau dibicarakan secara teliti, tidak berlebihan.
  3. Memperhatikan beda perorangan mengenai tingkat kete gangan yang dimiliki.
  4. Harus jujur dan objektif dalam melakukan penilaian, jangan menekankan pada menang atau kalah.
  5. Setelah pertandingan hares langsung memperlihatkan sikap senang kalau menang den sikap memahami dan penuh pengertian kalau kalah secara wajar.
  6. Jika atlet kalah hares mempertimbangkan suasana atau kondisi emosinya. Analisis objektif terhadap permainan nya acap kali belum memungkinkan dilakukan segera, jadi jangan tergesa-gesa.
Pelatih atau pembina acap kali menghadapi kesulitan ketika menghadapi atlet vang memang tergolong atlet yang "sulit". Di dalam menghadapi keadaan seperti itu beberapa hal perlu diperhatikan:
  1. Teliti masalah-masalah psikisnya, kalau mungkin diatasi secara langsung, namun kalau tetap sulit, janganlah se gan berkonsultasi dengan yang lebih senior atau minta bantuan psikolog untuk menangani.
  2. Bagi mereka yang sulit atau tidak mau berubah, periksa cara-cara pendekatan dan sikap-sikap kita, termasuk sikap teman-teman dalam kelompok atau regunya.
  3. Bagi atlet yang sering melanggar peraturan harus ada kejelasan antara tingkah laku yang masih dinilai baik yang dapat diterima oleh pelatih den tingkah laku yang melanggar peraturan dengan hukumannya. Hukuman perlu bersifat mendidik dan mengajar agar perbuatan yang salah atau tidak baik tidak akan diperlihatkan lagi, demi kepentingan pribadi atau regunya.
  4. Atlet yang mementingkan kepentingan diri sendiri, perlu dijelaskan peranan atlet lain, tanpa mengurangi kemam puan yang dimiliki dan mendahulukan kepentingan regu sebagai keseluruhan.
  5. Bagi atlet yang berbakat besar, jelaskan bahwa bakat den kemampuannya memegang peranan besar untuk prestasi pribadi den kemenangan regunya.

Dalam mempersiapkan atlet ke suatu pertandingan, pelatih dan pembina perlu memperhatikan langkah-lang kah agar atlet dapat memperlihatkan puncak penampilan (peak performance) atau prestasinya, yakni:

I. Langkah Ke-1
Pada langkah pertama ini perlu ditetapkan tujuan atau sasarannya. Dalam hal ini perlu mengevaluasi kemampuan-kemampuannya dari segi teknisnya, kondisi kesegaran jasmani dan kondi psikisnya. Dalam menetapkan tujuan ini perlu dibedakan tujuan akhir yang ingin dicapai melalui jangka panjang, menengah atau pendek. Program harus ada dan disesuaikan dengan tujuan dan dilakukan penilaian terhadap perkembangannya. Bilamana perlu dilakukan perubahan atau perbaikan.


II. Langkah Ke-2
Pada langkah ke-2 ini perlu diperhatikan:
  1. Mengenal saatnya bisa memperlihatkan prestasi puncak.
  2. Memantau tingkat ketegangan-kecemasan.
  3. Penggunaan teknik pengaturan diri a.l. melalui teknik pernapasan.
  4. Program mengurangi ketegangan, dilihat pada waktu latihan atau pertandingan.
  5. Kemampuan visualisasi.
  6. Persiapan menyusun strategi.
  7. Pengukuran waktu luang yang baik, kalau perlu mem pergunakan musik untuk relaks.
III. Langkah Ke-3
Satu atau dua minggu sebelum pertandingan perlu me mantau:
1. Kemajuan dan persiapan mental serta fisik atlet.
2. Tingkat ketegangan-kecemasan yang dapat dilihat pada dan reaksi somatisasi.
3. Beban latihan yang disesuaikan dengan keterampilan dan kondisi kefaalannya.
4. Waktu-waktu luang yang benar-benar bebas dari latihan, meliputi aktivitas-aktivitas lain di luar latihan dan pem bicaraan mengenai pertandingan.

IV. Langkah Ke-4
Tergantung pada jenis olahraga yang akan diikuti. Lakukan kegiatan-kegiatan ringan dan jangan berada terlalu lama di gelanggang atau gedung tempat bertanding. Alihkan kegiatan yang bisa mengisi waktu misalnya rekreasi-rekreasi ringan seperti film atau bacaan. Masuklah ke tempat tidur pada waktunya, jadi jangan terlalu cepat.

V. Langkah Ke-5
Malam menjelang pertandingan harus terjamin bisa tidur dengan baik, periksa hal-hal teknis dan latihan vi sualisasi. Beberapa menit sebelum bertanding atlet perlu konsentrasi, ada atlet yang menyukai menyendiri atau ada yang menyukai pelatihnya berada di sampingnya. Latihan pernapasan, visualisasi, konsentrasi dipersempit, pemanas an yang cukup disesuaikan dengan tingkat pertandingan dan kondisi pribadi.

VI. Langkah Ke-6
Persiapan terakhir menjelang pertandingan:
1. Memantau tingkat ketegangan-kecemasan.
2. Pusatkan perhatian pada tujuannya sekarang.
3. Fisik harus relaks.
4. Siap mental dan bergairah untuk bertanding.
5. Jangan melakukan analisis berlebihan.
6. Percaya pada semacam naluri, suatu dorongan muncul secara otomatis.
7. Bermain sesuai dengan irama masing-masing.
8. Laksanakan strategi dan sesuaikan dengan kondisi seperlunya.
9. Jangan ragu akan kemampuan sendiri, berpikir negatif dan merenungkan diri sendiri terlalu mendalam.
10.Bermainlah wajar, tanpa beban berat harus bermain tertentu yang tidak biasa dilakukan.

VII. Langkah Ke-7
Setelah pertandingan, perlu dinilai penampilannya agar penyusunan program baru bisa disesuaikan. Pusatkan perhatian pada aspek-aspek positif pada penampilan terdahulu

Selasa, 27 Maret 2012

Formasi Futsal

                                          FORMASI DASAR DALAM FUTSAL

kali ini kita akan membahas sedikit tentang formasi yang biasa dipraktekkan dalam permainan futsal, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian...

Formasi Futsal 2-2

Strategi Futsal ini digunakan sejak decade 1950-an dan memiliki karakter dengan dua pemain di area pertahanan dan dua pemain di area penyerangan. Formasi Futsal ini sangat sederhana dan pemain tidak perlu banyak bergerak. Dua pemain dibelakang bertugas mengamankan area pertahanan, sementara dua pemain di depan bertugas menyerang. Jarang terjadi perubahan posisi. Strategi Futsal ini lebih statis dibandingkan dengan yang lain dan lebih banyak digunakan untuk permainan dalam tempo sedang. Namun, tim yang berpengalaman sering menggunakannya dalam pertandingan krusial.

Tips:

* Dua pemain depan akan saling menopang sementara dua pemain belakang tidak hanya mengamankan pertahanan, tapi juga ikut membantu memutar permainan.
* Cuku efektif melawan tim dengan pertahnan yang lemah. Karenanya perlu melakukan penyerangan secara konstan. Tapi juga perlu melakukan penguasaan bola (ball possession) ketika tidak melakukan penyerangan.
* Formasi 2-2 memang menggunakan dua pemain depan dan dua pemain belakang. Namun, dalam praktiknya sebuah tim seharusnya menyerang dan bertahan secara bersama. Dengan begitu akan lebih mudang meraih hasil yang diharapkan.

mungkin bisa dilihat seperti ini.
















Formasi Futsal 4-0

Formasi futsal ini diciptakan oleh tim-tim Eropa, terutama Spanyol. Terlihat hamper sama dengan system 3-1 atau modifikasi 1-2-1. Namun yang membedakannya adalah penyerang tengah atau lebih dikenal dengan nama pivot bisal masuk ke area caster atau sebagai penjelajah di posisi sayap kiri, kanan, tengah, dan belakang. Artinya ia bersama tiga rekan pemain seecara konstan melakukan serangan atau bertahan. Permainan akan menjadi sangat rapat dan ketat sehingga sulit bagi lawan untuk bergerak dengan leluasa saat menyerang atau bertahan.

Tips:

* Setiap pemain akan mengawal pemain lawan (man to man marking)
* Sangat efektif ketika menghadapi lawan yang tangguh.
* Memudahkan untuk menutupi pergerakan lawan dalam mendistribuusikan bola atau membuka ruang permainan.
* Bisa memperlambat tempo permainan lawan, lalu memulai penyerangan.
* Terkadang, permainan menjadi monoton karena bola mungkin dikuasi, sementara rekan lain hanya melakukan penjagaan terhadap pemain lawan.

ini gambar untuk formasi 1-2-1













Formasi Futsal 3-1

Formasi Futsal 3-1 memudahkan melakukan serangan dengan lebih variatif. Di depan kipper ada seorang pemain bertahan, dua pemain tengah yang menempati posisi sayap, dan penyerang tengah atau pivot.

Strategi futsal ini menentut banyak pergerakan dari pemain dalam penguasaan bola terutama saat melakukan variasi serangan. Pivot lebih banyak mengoperkan kepada rekan saat menyerang. Kedua pemain sayap dan satu pemain belakang akan mengimbangi arah pergerakan pivot untuk menciptakan ruang permainan dan peluang untuk mencetak gol. Pivot dan kedua pemain sayap akan melakukan beberapa gerakan untuk mencari celah dan momen yang tepat guna memasukkan bola ke gawang lawan.

Berikut ini adalah fungsi masing-masing posisi pemain.

Pemain Bertahan

Orang terakhir di barisan belakang, bertanggung jawab untuk membantu kipper mengamankan gawang, menetralisasi serangan lawan, dan mengawali penyerangan.

Pemain Sayap

* Penghubung antara pertahanan dan penyerang
* Membantu pemain belakang dalam memulai serangan serta menyokong pivot untuk melakukan penyelesaian akhir atau mencetak gol.

Pivot

* Mengontrol permainan saat dalam posisi menyerang
* Berperan sebagai penyuplai bola, pencetak gol, dan menjadi orang pertama yang meredam serangan lawan.

Tips

* Peran pemain depan paling menonjol karena harus mengendalikan bola, mengumpan kepada rekannya, dan mencari celah untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Ini yang dinamakan pivot atau target man.
* Pengendalian bola tidak boleh lama karena ruang permainan yang sempit
* Lawan bisa dengan mudah membangun pertahanan guna meredam serangan
* Pemain belakang juga memiliki peran penting terutama dalam mempertahankan penguasaan bola selama permainan.