MOTIVASI DALAM PRESTASI OLAHRAGA
A. PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan di dalam pembinaan olahraga merupakan tantangan
besar yang harus dihadapi oleh para pembina olahraga di Indonesia.
Sentral permasalahan pembinaan olahraganya sendiri di Indone sia menjadi
rancu. Sebagian orang berpendapat bahwa atlet kurang termotivasi untuk
berprestasi. Sehingga, berbagai upaya diarahkan untuk meningkatkan
motivasi atlet ter masuk di dalamnya memberdayakan motivator dengan
harapan agar atlet lebih termotivasi untuk berprestasi. Ha nya sayangnya
sampai saat ini dampak pemberdayaan moti vator belum juga dirasakan.
Karena pertama mungkin ru musan motivasi itu sendiri belum terlalu
jelas; seolah-olah dengan sekedar membangkitkan semangat juang seperti
Joan of Arc membangkitkan semangat perang para prajurit nya sudah cukup
untuk menggerakkan sedemikian banyak orang untuk berperang. Kedua,
motivasi mungkin bukan satu-satunya faktor yang menjadi kendala bagi
atlet untuk berprestasi, karena di dalam olahraga setidaknya sejumlah
aspek seperti kognisi, emosi, dan perilaku, di samping motivasi memiliki
peran yang sama pentingnya dalam mempengaruhi prestasi atlet . Ketiga,
motivasi baik itu sifatnya intrinsik maupun ekstrinsik, harus terarah
pada suatu sasaran tertentu. Karena, tanpa adanya sasaran tertentu, arah
perilaku seseorang menjadi tidak jelas. Keempat, motivasi mengacu pada
adanya kebutuhan seseorang yang dilandasi oleh kepribadian individu yang
bersangkutan. Karenanya, motivasi tidak bisa digeneralisasikan bagi
semua orang melainkan harus ditinjau secara khusus dari satu individu ke
individu lainnya. Selanjutnya, motivasi dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang amat kompleks, termasuk di dalamnya intensitas atau besarnya
tekanan (stress) yang menghambat seseorang untuk mengembangkan
motivasinya. Keenam, aspek komunikasi antara atlet, pelatih dan pengurus
berdampak signifikan untuk membangkitkan motivasi atlet untuk
berprestasi. Ketujuh, peran berbagai pihak sangat diharapkan untuk
meningkatkan kinerja olahraga dari seorang atlet. Sebagai contoh, di
dalam program pembinaan olahraga perlu diikut sertakan secara khusus
program latihan men tal yang meliputi hal hal seperti relaksasi,
peningkatan kinerja olahraga melalui latihan imajeri, latihan
konsentrasi dan upaya meningkatkan kinerja olahraga dengan mening katkan
rasa percaya diri. Kedelapan, berbagai fasilitas untuk mengatasi
problematik psikologis atlet perlu diadakan, termasuk di antaranya
pro gram konseling dan upaya mengatasi kondisi "burn-out dan
cedera fisk maupun psikis. Dan hal yang selama ini mungkin agak
terlupakan atau dilupakan adalah pertimbangan bahwa suatu saat karir
seorang olahragawan harus berakhir karena berbagai macam alasan. Hal ini
perlu menjadi perhatian para pembina olahraga di Indonesia. Atlet serta
pelatih yang telah mengakhiri tugasnya di dalam biding keolahragaan
harus tetap dapat hidup di tengah masyarakat. Bahkan jika mungkin,
mereka yang telah memiliki jasa membawa nama bangsa dan negara di
berbagai gelanggang olahraga perlu memperoleh penghargaan khusus yang
dapat memberikan jaminan hidup bagi mereka. Tanpa ada nya arah hidup
yang jelas seusai karirnya sebagai atlet atau pelatih, seorang
olahragawan atau pelatih akan senantiasa dihantui rasa tidak aman untuk
menghadapi masa depannya. Dan rasa tidak amannya ini berdampak
signifikan terhadap perilakunya dalam mengikuti kegiatan pembinaan
olahraga. Karena sesungguhnya, olahraga juga merupakan sebuah karir yang ditempuh oleh seseorang untuk memperoleh tempat hidup yang layak di masyarakat, baik pada saat kini maupun di masa depan
Dari berbagai kondisi yang ada yang memiliki dampak signifikan di dalam
usaha seorang atlet mencapai prestasi puncak, jelaslah bahwa paradigma
motivasi tidak bisa diterapkan secara sepihak, searah dan pada konteks
yang sempit karenanya, paradigma ini harus diubah dengan cara pandang
yang berbeda, dan melalui cara pandang yang berbeda inilah diharapkan
akan lebih tampak aspek-aspek tertentu yang perlu mendapat perhatian
dari pihak pembina olahraga dalam menerapkan program peningkatan
motivasi atlet dalam upaya meningkatkan prestasi mereka di arena
kejuaraan nasional maupun internasional. Penampilan seorang atlet tidak
bisa dilepaskan dari daya dorong yang dia miliki. Sederhananya, semakin
besar daya dorong yang dimiliki, maka penampilan akan semakin optimal,
tentu saja jika ditunjang dengan kemampuan teknis dan kemampuan fisik
yang memadai. Daya dorong itulah yang biasa disebut dengan
motivasi.Menurut Hodgetts dan Richard (2002) motif adalah sesuatu yang
berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah
dari perilaku seseorang. Sedang motivasi adalah motif yang tampak dalam
perilaku. Motif lah yang memberi dorongan seseorang dalam melakukan
suatu aktivitas. Hampir semua aktivitas manusia didorong oleh
motif-motif tertentu yang bersifat sangat individualis.
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau
tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi
motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia
untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan
tertentu.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan
motivasi (niat). menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi
adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau
keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002)
motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan
timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan
sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu. Sedangkan menurut
Gray (dalam Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang
bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang
menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal
melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu.
B. PEMBAHASAN
1. Motivasi
Secara
garis besar, ada dua jenis motivasi jika dilihat dari arah datangnya;
yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik
merupakan motivasi yang datang dari dalam diri individu. Sebagai contoh
keinginan untuk mendapat poin sempurna dalam sebuah kejuaraan senam,
atau keinginan untuk menyelesaikan sebuah handicap dalam olahraga
motocross. Motivasi yang datang dari dalam diri individu tanpa campur
tangan faktor luar inilah yang biasa disebut sebagai motivasi intrinsik.
Motivasi
ekstrinsik biasa didefinisikan sebagai motivasi yang datang dari luar
individu. Keinginan mendapat penghargaan, uang, trophi dan sebagainya
merupakan contoh-contoh motivasi yang berasal dari luar individu. Secara
umum, motivasi ekstrinsik lebih sering berbentuk kebendaan atau juga
pujian.
Meskipun
berbeda, kedua jenis motivasi ini sesungguhnya saling berkait satu sama
lain dan bentuknya yang saling berubah-ubah. Motivasi intrinsik bisa
muncul akibat adanya penghargaan yang menjadi iming-iming pun demikian
dengan sebaliknya. Motivasi ekstrinsik adalah kelanjutan dari adanya
motivasi intrinsik yang mengawali seseorang melakukan sebuah aktivitas.
Memang
banyak ahli yang mengatakan bahwa motivasi intrinsiklah yang sebenarnya
diperlukan oleh seorang atlet dalam setiap penampilannya. Karena
motivasi intrinsik lebih bersifat tahan lama dibanding motivasi
ekstrinsik. Mudahnya, motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan
hilangnya hadiah, reward, atau uang yang diinginkan, tapi tidak demikian
jika yang dimiliki adalah motivasi intriksik. Namun sekali lagi, kedua
jenis motivasi ini saling bertumpuk dan mempengaruhi satu sama lain.
Aspek motivasi merupakan aspek yang paling banyak disoroti dalam program
pembinaan olahraga (Weiberg & mould, 1995). Motivasi berasal dari
kata bahasa Latin “movere" yang artinya bergerak. Alderman (1974)
men definisikan motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku
secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya
konsekuensi tertentu, dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran
perilaku dapat dicapai (p. 186). Sifat selektif dari perilaku berarti
individu yang berperilaku membuat suatu keputusan untuk memilih
tindakannya. Arah tertentu dari perilaku artinya tindakan yang dilakukan
memiliki suatu tujuan sesuai dengan keinginan. Adapun yang dimaksud
dengan konsekuensi adalah suatu kondisi negatif yang diperoleh individu
jika is tidak melakukan perilakunya tersebut. Sage (1977) secara lebih
sederhana mengemukakan bahwa motivasi adalah arah dan intensitas usaha
seseorang. Yang dimaksud dengan arah usaha adalah situasi yang menarik
dan membangkitkan minat seseorang sehingga ada upaya orang tersebut
untuk mendekatinya. Sedangkan intensitas adalah besarnya upaya seseorang
untuk dapat mendekati situasi atau kondisi yang diminatinya.Di dalam proses pembinaan olahraga ada beberapa bentuk motivasi yang harus dibedakan. Yang pertama adalah motivasi secara umum, artinya motivasi seseorang untuk melibatkan diri di dalam suatu aktivitas tertentu dalam upaya memperoleh hasil atau mencapai sasaran tertentu (Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986). Yang kedua adalah motivasi untuk berprestasi (achievement moti vation), yaitu orientasi seseorang untuk tetap berusaha memperoleh hasil terbaik semaksimal mungkin dengan dasar kemampuan untuk tetap bertahan sekalipun gagal, dan tetap berupaya menyelesaikan tugas sebaik-baiknya karena is merasa bangga untuk mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (Gill, 1986). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Murray (1938) bahwa motivasi adalah upaya seseorang untuk menguasai tugasnya, mencapai hasil maksimum, mengatasi rintangan, memiliki kinerja lebih baik dari orang lain, dan bangga terhadap kemampuan yang dimilikinya. Selanjutnya, ada motivasi yang berorientasi untuk menguasai orang lain (power motivation), motivasi untuk mampu bertindak secara kompeten dalam menghadapi situasi yang ada (ef fectance motivation) (Morgan, et al, 1986), dan motivasi untuk aktualisasi diri (self-actualization motivation) (Maslow, 1954). Dari beberapa contoh bentuk motivasi di atas perlu kiranya dipertimbangkan bahwa penekanan motivasi semata-mata untuk berprestasi .(task oriented) melalui motivasi untuk berprestasi mungkin tidak cukup. Kalaupun seseorang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik (landasan achievement motivation) namun justru peluangnya untuk memiliki kuasa terhadap orang lain (power motiva tion) tidak terpenuhi, is tidak akan cukup puas dengan penampilannya.
2. Sumber motivasi
Sejumlah pakar (Anshel, 1997; Duda, 1993; Weinberg & Gould, 1995)
mengemukakan adanya beberapa sumber antara lain Orientasi Pelaku (Trait Centered / Participant Centered ori entation), Orientasi Situasional/ Lingkungan (Situation Centered ori entation) Orientasi Interaksional (Interactional orientation)
3. Teori Motivasi
Teori Kebutuhan Berprestasi (Need Achievement)
Menurut beberapa studi kepribadian, salah satu karakteristik yang
menentukan kesuksesan atlet adalah tingginya kebutuhan untuk berprestasi
(Cox, 1995). Kebutuhan ini dikenal sebagai Achievement Motivation (motivasi berprestasi). Orientasi teori ini dilandasi oleh sukses berdasarkan persepsi atlet.
Berkaitan dengan teori ini ada dua orientasi atlet. Atlet yang berorientasi pada ego (ego-oriented) dan atlet yang berorientasi pada penguasaan keterampilan (mastery ori ented). Atlet
yang berorientasi pada ego cenderung mempersepsi sukses berdasarkan
kemenangan dan ke mampuan mengungguli lawan (Duda, 1993), sedangkan yang
berorientasi pada penguasaan keterampilan memper sepsi sukses lebih
berdasarkan kepuasan menikmati aktivitas olahraganya (Roberts, 1993).
Alderman (1974) membedakan kebutuhan berprestasi (need achievement) dengan motivasi untuk berprestasi (mo tive for achievement). Seseorang
dapat memiliki kebutuhan berprestasi tinggi tetapi tidak memiliki cukup
motivasi untuk berprestasi tinggi. Sebagai contoh, seorang atlet ingin
menjadi juara atau menempati ranking utama di cabang olahraga yang
digelutinya, namun keinginannya tersebut tidak didukung oleh usahanya
yang cukup. Misalnya, ia tidak disiplin dalam mengikuti latihan.
Dalam kaitannya dengan hal ini Atkinson (1974) dan McClelland (1961)
telah lama mengajukan teori motivasi yang didasari oleh pemenuhan
kebutuhan (need achievement theory) yang memiliki
komponen: kepribadian individu yang bersangkutan, faktor situasional,
kecenderungan hasil, reaksi emosi, dan perilaku untuk berprestasi, yang
kesemuanya saling terkait satu sama lain seperti paradigma di bawah ini:
4. Kompetensi
White (1959) mengemukakan bahwa pada hakikatnya seseorang sejak
dilahirkan ingin memiliki kemampuan (kompetensi) dalam berhubungan
dengan lingkungannya. Adalah hakiki bahwa manusia ingin menguasai
ling kungannya. Jika ia berhasil, ia merasa gembira dan senang. Adapun
imbalan prestasi mereka adalah kesenangan inter nal (internal pleasure).
Harter (1981) mengemukakan bahwa seorang atlet akan berusaha untuk
mampu menguasai keterampilan dalam cabang olahraganya. Jika is mampu, is
merasa lebih percaya diri, dan perasaan ini selanjutnya akan menjadi
penguat baginya untuk mengulangi kembali perilaku olahraganya. Jadi
menurut pandangan teori ini, seorang atlet perlu memiliki keyakinan dan
rasa percaya diri bahwa ia mampu menguasai cabang olahraganya. Dengan
demikian ia akan melakukan aktivitas olahraganya dengan senang, dan
motivasinya untuk melakukan aktivitas tersebut pun tinggi. Sebaliknya
jika ia tidak yakin bahwa is telah menguasai bidang olahraganya,
motivasinya untuk beraktivitas olahraga tersebut kurang kuat; kalaupun
is melakukannya, kesenangannya tidak sebesar jika ia merasa mampu
melakukannya.
5. Teori Carron
Carron (1984) beranggapan bahwa aspek pelaku dan aspek situasional sama
pentingnya. Sebagian aspek ini dapat berubah sesuai dengan kendali
atlet yang bersangkutan atau pelatihnya, sebagian lagi merupakan aspek
yang tidak dapat diubah. Aspek yang tidak dapat diubah bukan berati
tidak dapat berubah. Yang dimaksud tidak dapat diubah adalah dalam
pengertian tidak dapat dikendalikan sesuai keinginan atlet maupun
pelatih.
Carron mengemukakan apek-aspek tersebut terdiri dari: 1) aspek individu
yang dapat diubah, 2) aspek individu yang tidak dapat diubah, 3) aspek
situasional yang dapat diubah, dan 4) aspek situasional yang tidak dapat
diubah.
Aspek individu yang dapat diubah meliputi lima faktor yaitu: 1)
insentif, 2) analisa hasil, 3) motivasi intrinsik, 4) harapan orang
lain, 5) rasa percaya diri. Hal lainnya yang terluput dari Carron adalah adanya Social loafing, yaitu menurunnya usaha individu karena kehadiran orang lain (Hardy, 1990). Social loafing hanya
muncul jika ada lebih dari satu orang melakukan tugas yang sama secara
bersama- sama. Biasanya hal ini terjadi karena individu tidak lagi
merasa perbuatannya penting karena ia hanya menjadi bagian dari
kelompok. Dengan kata lain, makna indivi dualitas individu tenggelam di
dalam makna kelompok; atau identitas dirinya tenggelam di dalam
identitas kelompok.
Aspek individu yang tidak dapat diubah meliputi berbagai kecenderungan
psikologis sebagai hasil belajar dan relatif menetap serta merupakan
ciri spesifik individu dalam menghadapi situasi tertentu. Sebagai contoh
sejumlah atlet memiliki kecenderungan kompetitif yang lebih besar
daripada atlet lainnya. Di lain fihak, ada atlet yang menunjukkan
kecemasan yang lebih tinggi daripada atlet lainnya.
Adalah penting bagi pelatih untuk mempertimbangkan serta memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan yang
merupakan ciri khas individu ini. Kecenderungan ke-cenderungan yang
positif dari atlet dapat lebih diperhati kan untuk dijadikan salah satu
kunci penerapan strategi atlet dalam bertanding. Karena berbagai
keunikan talenta atlet sebagai individu dapat dijadikan alat untuk
mengatasi atau sekurang-kurannya mengimbangi keterbatasan atlet.
Faktor situasional yang dapat diubah meliputi berbagai kondisi yang dapat dimanipulasi oleh pelatih. Dengan menggunakan hadiah berupa "token", menentukan
sasaran secara lebih spesifik, memvariasikan program latihan dan
penguat sosial, seorang pelatih dapat mengubah situasi latihan atau
pertandingan dari kondisi yang kurang menarik bagi atlet menjadi kondisi
yang lebih menarik. Sebagai contoh dalam penguat sosial misalnya
komentar positif yang dilontarkan oleh pelatih dapat menimbulkan
perubahan sikap pada atlet sehingga atlet menjadi lebih termotivasi
untuk mengikuti latihan.
Faktor situasional yang tidak
dapat diubah meliputi faktor seperti kondisi alami lapangan
pertandingan, penonton, serta supporter pertandingan. Bagi sebagian
atlet teriakan penonton justru dapat membangkitkan semangat tanding
mereka sekalipun teriakan tersebut mungkin serupa dengan cemooh
penonton. Sebaliknya bagi sebagian atlet lainnya hal tersebut dapat
menimbulkan dampak yang merugikan. Penonton Indonesia dalam
pertandingan bulutangkis di Istora Senayan Jakarta misalnya cukup
"ditakuti" oleh sejumlah pemain asing karena pekikan mereka dapat
meruntuhkan moral pemain atau sekurang-kurangnya mengganggu konsentrasi
pemain. Namun hal ini tidak dapat diubah oleh pemain maupun pelatih.
Sebaiknya pemain harus berlatih mampu mengadaptasi diri terhadap
kondisi yang sudah ada tersebut.
- Mitos Motivasi
Berbagai upaya seringkali dilakukan oleh pelatih dalam rangka
meningkatkan motivasi atlet. Namun upaya-upaya yang dilakukan tersebut
sering tidak mempertimbangkan dampaknya atau kurang didasari pada
kenyataan yang ada di lapangan oleh mitos belaka. Hal ini berakhir bahwa
hasil yang dicapai berkebalikan dengan harapan. Jadi, pada akhirnya
atlet tidak menjadi termotivasi untuk bertanding, sebaliknya mereka
menjadi antipati, enggan, cemas, atau malas untuk menampilkan kinerja
olahraga seperti yang diharapkan (Anshe1,1997).
- Memberi hukuman dengan tambahan porsi latihan fisik
Pelatih adakalanya menerapkan hukuman fisik seperti push-up beberapa
kali, atau berlari dengan tambahan putaran ekstra akibat pelanggaran
atau kesalahan yang dilakukan oleh atlet, misalnya terlambat latihan.
Hal ini ternyata bukan memperbaiki kinerja atlet bahkan sebaliknya buruk
Perlakuan ini harus dihindari dengan alasan sebagai berikut:
- Aktivitas latihan fisik hendaknya diasosiasikan dengan suatu keadaan
yang menyenangkan, sehingga kegiatan fisik menjadi kegiatan yang
menggembirakan. Jika latihan fisik diasosiasikan dengan hukuman,
persepsi dan kesan yang diperoleh atlet terhadap kegiatan latihan
menjadi rancu. Sehingga pada suatu saat apabila atlet diharapkan untuk
menambah porsi latihannya demi peningkatan prestasinya, ia mengalami
penurunan motivasi karena penambahan porsi latihan biasanya terkait
dengan hukuman. Sebaliknya jika latihan fisik dijadikan ajang kegiatan
yang menyenangkan dan tidak pernah dikaitkan dengan
memanfaatkannya sebagai hukuman, pelatih akan lebih mudah mening katkan
motivasi atlet berlatih fisik sesuai dengan kebutuhan.
- Tujuan hukuman adalah mencegah munculnya perilaku yang tidak
diharapkan; dan hukuman hendaknya merupakan bentuk pengalaman yang tidak
menye nangkan. Tidak mengikut sertakan atlet dalam kompetisi akibat
kesalahan atau perilaku indisipliner merupakan bentuk hukuman yang lebih
efektif daripada mem berikan porsi latihan fisik tambahan.
- Nasehat pra kompetisi
Pelatih sering berusaha ekstra keras untuk memberikan nasehat pada
atlet menjelang pertandingan dalam rangka mempersiapkan atlet secara
lebih baik pada menjelang pertandingan. Namun ternyata tidak semua atlet
menyukai hal tersebut. Sejumlah atlet lebih menyukai ketenangan bahkan
memilih untuk menyendiri untuk lebih mampu berkonsentrasi kelak dalam
pertandingan. Memaksakan memberikan nasehat kepada atlet menjelang
pertandingan dapat menimbulkan hasil yang bertentangan dengan harapan.
Karenanya, keunikan masing-masing atlet perlu dipertimbangkan dalam
memberikan nasihat menjelang pertandingan.
- Merendahkan kemampuan lawan
Pelatih seringkali berusaha meningkatkan rasa percaya diri atlet dengan
memotivasinya melalui cara menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tangguh
daripada lawan. Atau pelatih memberikan gambaran bahwa lawan yang
dihadapi adalah lemah. Hal ini ternyata tidak memberikan dampak positif
bahkan sebaliknya karena berbagai alasan seperti:
- Jika atlet ternyata menyadari pernyataan pelatih tidak benar, ia merasa dibohongi
- Jika ternyata atlet tetap kalah sekalipun pelatih telah memberikan
gambaran bahwa lawannya lebih lemah, atlet yang bersangkutan merasa
kekalahannya semakin besar, penampilannya semakin mengecewakan dan harga
dirinya semakin rendah.
- Adalah sikap yang tidak realistis menganggap seseorang lawan lemah
tanpa mempertimbangkan kekuatannya, karena setiap petarung memiliki
peluang untuk menang.
- Atlet masing-masing memiliki empati dan perasaan menghargai secara
timbal balik. Sejumlah atlet merasa bahwa mengkritik lawan secara
berlebihan adalah tidak etis.
- Tujuan utama adalah menang
Banyak pelatih, namun terutama pengurus, menekankan pentingnya menang.
Bahkan sebagian pengurus seolah-olah memaksakan atlet untuk selalu
menang. Hal ini sesung guhnya dapat menjadi beban tuntutan yang sangat
berat bagi atlet. Berbagai penelitian menyatakan bahwa menekan kan
pentingnya untuk tampil sebaik mungkin lebih memberikan dampak positif
dalam memotivasi atlet daripada menekankan atlet untuk semata-mata
menang.
- Memperlakukan anggota secara berbeda
Beberapa pengurus dan pelatih memiliki kecenderungan menganak-emaskan
atlet-atlet tertentu dengan berbagai alasan. Sikap ini cenderung
melahirkan inkonsistensi dalam penetapan aturan. Inkonsistensi aturan
cenderung me nurunkan motivasi atlet secara umum, termasuk atlet yang
dianak-emaskan.
- Tidak mengeluh berarti bahagia
Diam dan tidak mengeluh seringkali dianggap sikap yang tidak
bermasalah. Hal ini belum tentu demikian. Atlet yang sama sekali tidak
mengeluh belum tentu merasa bahagia dengan program yang dijalankannya.
Karena bisa terjadi mereka yang bersikap demikian justru memiliki sikap
masa bodoh dan tidak perduli dengan hasil yang mereka capai, sehingga
tidak ada upaya lebih jauh untuk senantiasa memperbaiki peringkat
prestasi yang dicapai.
- Atlet tidak banyak tahu
Banyak pelatih beranggapan bahwa pengetahuan mereka jauh melebihi
atlet; di samping itu mereka juga menganggap pengetahuan atlet masih
sangat dangkal dan penuh dengan ketidak-tahuan. Tetapi yang sering
terjadi adalah pelatih mengalami berbagai hambatan dalam menghadapi
atlet, sebaliknya atlet mampu memanipulasi, mengkontrol, mengendalikan
pelatih dalam membuat keputusan. Fisher et al. (1982) mengemukakan bahwa
pelatih yang memiliki pengetahuan lebih banyak adalah mereka yang
biasanya menyempatkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan
atletnya. Jadi, di samping mereka memiliki dasar pengetahuan teoretis,
mereka juga mampu memanfaatkan atlet sebagai nara sumber praktis.
- Ceramah pasca pertandingan
Adalah biasa pelatih atau pengurus memberikan masukan pada atlet seusai
atlet bertanding. Sebagian memberi pujian atas keberhasilan atlet,
sebagian lain memberikan teguran atas kesalahan atlet selama bertanding.
Padahal dalam situasi ini atlet masih merasa lelah. Informasi teknis
untuk memperbaiki diri tidak tepat disampaikan pada periode pasta
pertandingan. Sebaliknya dalam kondisi lelah, atlet menjadi lebih peka
terhadap kondisi emosi dan suasana hati. Teguran teknis yang bersifat
negatif cenderung memberikan dampak "traumatis", perasaaan sakit hati,
pada diri atlet. Jadi, perlakuan seperti ini perlu dipertim bangkan
secara lebih seksama.
Karenanya dalam memberikan pengarahan pasca tanding hendaknya mempertimbangkan tenggang waktu yang lebih rasional antara saat usai pertandingan dan saat pemberian pengarahan.
- Napoleon Complex
Istilah Napoleon Complex berlaku bagi pelatih yang cenderung
menunjukkan sikap otoriternya sebagai salah satu bentuk kompensasi
keinginan pribadinya untuk dihargai oleh orang lain (Anshel, 1997).
Banyak pakar kepribadian menyatakan bahwa sikap Napoleon yang "bossy" merupakan kompensasi terhadap tubuhnya yang tergolong kerdil.
Sikap pengurus dan pelatih yang menunjukkan ke kuasaan cenderung
menurunkan motivasi atlet. Akibat sikap seperti ini pada diri atlet
dapat muncul perasaan tertekan, kehilangan minat untuk mendengarkan
ceramah dan wejangan pengurus ataupun pelatih, bahkan mereka seringkali
merasa muck dengan perilaku pengurus dan pelatih mereka.
- Menanamkan rasa takut
Sejumlah pengurus dan pelatih cenderung menanamkan rasa takut pada diri
atletnya dalam upaya mengendalikan atlet supaya mereka mau melakukan
apa yang diperintah kan pengurus atau pelatih. Hal ini sesungguhnya
menurun kan motivasi atlet untuk berpartisipasi secara lebih aktif,
karena mereka merasa tidak nyaman berada di dalam lingkungan yang
mengancam, menekan, otoriter.
Adalah sesuatu hal amat bertentangan jika atlet diajarkan untuk takut,
sementara dalam bertanding mereka diharap kan untuk berani.
- Strategi memotivasi atlet dan kelompok (tim)
Hubungan pelatih dengan atlet merupakan hal yang amat penting dan
sangat menentukan berhasil tidaknya pelatih membangkitkan motivasi
atlet. Hoehn (1983) serta Fuoss dan Troppmann (1981) mengemukakan
berbagai hal yang perlu dimiliki oleh seorang pelatih dalam membina
hubungan dengan atletnya adalah:
- Mampu berkomunikasi secara effektif
- Memiliki kemahiran mengajar dan melatih
- Mampu membangkitkan gairah semangat atlet, mem berikan pujian pada atlet lebih menekankan keunggulan individu daripada kelemahan yang dimilikinya.
- Terorganisir dan berperilaku terkendali
- Menyertakan sikap humor
- Mengembangkan sikap Baling menghargai di antara pelatih, assisten dan atlet
- Peka terhadap perlunya saat istirahat, cuti, liburan
- Mengembangkan sikap kepemimpinan di antara kelompok atletnya
- Memberikan masukan yang wajar atas kekeliruan atlet, sebaliknya juga atas keberhasilan atlet
- Tahu membatasi diri dan bersikap konsisten dalam menerapkan disiplin
- Tidak mempermalukan, mengintimidasi, dan meng kritik pribadi atlet
Di samping hal-hal di atas, berbagai teknik juga dapat digunakan untuk
memotivasi atlet mencapai prestasi maksimalnya (Anshel, 1997) seperti
misalnya:
- Saling mengenal di antara sesama anggota tim
- Terencana
- Berorientasi ke masa depan
- Mengembangkan keterampilan
- Memberikan penghargaan
- Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras
- Mencari kesamaan pandangan
- Membuat kegiatan menjadi menarik misalnya dengan memvariasikan kegiatan latihan
- Bersikap konsisten terutama dalam menetapkan aturan
- Tidak beranggapan menang adalah segala-galanya tetapi lebih menekankan pada faktor usaha
- Waspada terhadap kecenderungan berpikir negative
- Motivasi Kelompok
Perlu dipertimbangkan bahwa seorang atlet biasanya merupakan bagian
dari kontingen atau sekurang-kurangnya merupakan bagian dari kelompok
cabang olahraganya. Kondisi kelompok biasanya juga mempengaruhi kondisi
individu yang ada di dalam kelompoknya. Karenanya persahabatan antar
anggota kelompok, penanaman rasa saling percaya, saling menghargai dan
upaya memper tahankan keharmonisan kelompok adalah penting (Anshel,
1997). Sejumlah hal berikut ini perlu dipertimbangkan dalam upaya
memotivasi kelompok.
- Sasaran
Sekalipun setiap individu memiliki sasaran (goal) masing- masing
dalam berperilaku, hendaknya sasaran individu tidak terlalu menyimpang
dari kelompoknya dalam kinerja olahraga. Ketidakserasian sasaran antara
perilaku individu dengan perilaku kelompok dapat menimbulkan
perten tangan dan perselisihan antar anggota kelompok yang kemudian
dapat memicu munculnya klik di dalam kelompok. Hal ini menyebabkan
pelatih akan mengalami kesulitan menumbuhkan motivasi dalam kelompok.
Sebaliknya akan terjadi perpecahan antar anggota kelompok. Karenanya,
hendaknya diskusi antara pelatih dan antar anggota kelompok perlu terus
menerus dibina untuk menyatukan pandangan serta langkah menuju sasaran.
- Kepemilikan (Rasa memiliki)
Anggota kelompok hendaknya memiliki rasa memiliki secara bersama. Untuk
itu, pelatih perlu menjelaskan dasar -dasar usaha dan orientasi sasaran
usaha. Pelatih juga perlu menjelaskan perlunya usaha bersama untuk
memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Tanpa adanya komunikasi dan
perumusan yang jelas dari pelatih, atlet dapat mengalami perasaan kurang
memiliki, atau bahkan merasa bukan bagian dari kelompoknya sehingga
motivasinya pun akan sulit untuk ditumbuhkan.
Di atas telah disinggung tentang kemungkinan muncul nya social loafing atau
hilangnya identitas pribadi di dalam kegiatan kelompok. Hal ini perlu
diantisipasi oleh pelatih agar jangan sampai atlet sebagai individu
kehilangan iden titasnya karena ia hanya merupakan bagian dari
kelom poknya. Karenanya penghargaan sebagai individu (indi vidual recognition) perlu untuk senantiasa diperhatikan.
- Kesatuan dalam perbedaan
Prinsip ini kurang lebih sama dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Setiap individu dalam kelompok memiliki keunikan masing-masing. Adalah
tugas seorang pelatih untuk menyatukan berbagai perbedaan antar individu
sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi, dan bukan membangkitkan
perpecahan antar anggota karena perbe daan di antara mereka.
- Waspada akan peran
Adalah penting bagi pelatih untuk memberikan peran tertentu pada
atletnya. Atlet cenderung kurang memiliki motivasi untuk berlatih atau
bertanding karena ia merasa kurang memiliki peran di dalam kelompoknya.
Sebaliknya, jika atlet merasa dirinya memiliki peran penting di dalam
regunya, is cenderung merasa lebih berarti berada di tengah -tengah
regunya, dan motivasinya lebih mudah dibangkitkan karena fungsinya di
dalam regu adalah juga sebagai pembangkit motivasi anggota lainnya.
- Interaksi terencana
Interaksi antar anggota tim perlu didasari oleh rencana. Anshel (1997)
mengajukan beberapa contoh diantaranya sesekali mengganti teman sekamar,
rekan sekerja, atau pasangan dalam permainan. Juga dapat dilakukan
perubahan susunan anggota kelompok dalam latihan, dalam perjalanan atau
dalam melakukan tugas-tugas harian. Hal ini tidak dimaksudkan misalnya
sekedar untuk menemukan pasangan yang tepat dalam permainan ganda,
melainkan dimaksudkan untuk masing-masing atlet belajar berinteraksi
dengan berbagai macam individu dengan kepribadian yang berbeda.
- Membina komunikasi
Membina komunikasi di dalam kelompok adalah amat penting. Pelatih yang
menyediakan terlalu sedikit waktu untuk berkomunikasi dengan atletnya
sebaiknya jangan terlalu berharap ia akan mampu meningkatkan motivasi
atletnya. Kesenjangan hubungan komunikasi berdampak pada kesenjangan
hubungan emosional. Kesenjangan hubungan emosional merupakan hambatan
bagi upaya mempersiapkan mental atlet dalam bertanding, termasuk di
dalamnya memotivasi atlet.
Di samping hal-hal tersebut di atas, pelatih adakalanya kurang
memperhatikan atlet cadangan. Padahal merekapun dapat berpeluang menjadi
kunci kemenangan (Anshel, 1997). Para pemain cadangan sering kali
mengalami gangguan psikologis dalam bentuk frustrasi, perasaan terasing,
kehilangan rasa percaya diri, tidak cukup dipercaya, memiliki atribut
sebagai warga kelas dua di dalam kelompoknya, dan lain-lain (Tutko &
Bruns, 1976). Jadi, sebaiknya merekapun memperoleh perhatian yang cukup
dari pelatihnya melalui sejumlah pendekatan:
- Memberikan perasaan berarti dan menganggap mereka sama pentingnya dengan atlet utama
- Memberikan pengertian bahwa mereka pun memberikan sumbangan berarti bagi regunya
- Memberikan kesempatan lebih banyak kepada mereka untuk meningkatkan kemampuannya dan menunjukkan keterampilannya di dalam situasi kompetisi
- Mempromosikan mereka ke arah positif
Jika pelatih memperlakukan mereka dengan cara-cara demikian, rasa
percaya diri mereka akan tumbuh, dan mereka merasa bagian dari tim
sekalipun mungkin peran mereka tidak sebesar peran pemain utama. Jika
mereka merasa sebagai bagian dari tim, mereka lebih mempunyai rasa
memiliki terhadap tim, dan motivasi mereka akan lebih mudah dibangkitkan
untuk meningkatkan prestasi sehingga kelak mereka dapat dibina menjadi
kader masa depan.
Akhirnya yang perlu juga dicatat adalah, pelatih hendaknya menanamkan
motivasi yang realistik terhadap atletnya. Atlet juga mampu berpikir
jernih, memiliki perasaan yang peka, dan memiliki keterampilan sesuai
dengan apa yang telah dipelajari dan dicapai. Berusaha membangkitkan
motivasi atlet melalui pernyataan ideal biasanya tidak memberikan hasil
seperti harapan, bahkan sebaliknya atlet merasa menghadapi suatu
ketidak mungkinan. Akibatnya mereka justru menjadi kurang termotivasi.
Jadi hendaknya pelatih melakukan upaya mem bangkitkan motivasi atlet
dengan memberikan penjelasan secara realistis, menaruh harapan pada
atletnya secara realistis dan melakukan evaluasi serta memberikan umpan
balik secara realistis pula.
C. PENUTUP
Dalam rangka pembinaan terhadap atlet muda, upah yang baik untuk lebih
memacu motivasinya untuk me nang adalah pujian dan perasaan senang atau
bangga ter hadap usaha-usahanya dalam permainan yang telah
diperli hatkan sebaik-baiknya tanpa terlalu menekankan keme nangan
sebagai tolok ukurnya.
Pendekatan perorangan yang memperhatikan segi psikis dengan sikap penuh
pengertian dan penghargaan akan usaha yang telah diperlihatkan,
khususnya pada atlet muda usia, sangat diperlukan untuk memupuk motivasi
agar bermain "all out" dalam. setiap pertandingan. Pelatih
dan pembina perlu mengetahui dasar timbulnya atau ter hambatnya motivasi
para atlet dan dalam hal ini bisa dila kukan dengan:
- Berbicara dan mendiskusikan penampilan atlet. Dalam hal ini perlu memperhatikan waktu yang tepat, artinya atlet sudah dalam keadaan siap untuk mendiskusikan permainannya.
- Melakukan pengamatan terhadap atlet pada waktu la tihan, pertandingan atau dalam kehidupan dan pergaul an sehari-hari.
Dalam percakapan untuk tujuan memotivasi atlet, be berapa hal perlu diperhatikan:
- Harus yakin apakah memang diperlukan percakapan.
- Perencanaan yang matang apa yang akan disampaikan atau dibicarakan secara teliti, tidak berlebihan.
- Memperhatikan beda perorangan mengenai tingkat kete gangan yang dimiliki.
- Harus jujur dan objektif dalam melakukan penilaian, jangan menekankan pada menang atau kalah.
- Setelah pertandingan hares langsung memperlihatkan sikap senang kalau menang den sikap memahami dan penuh pengertian kalau kalah secara wajar.
- Jika atlet kalah hares mempertimbangkan suasana atau kondisi emosinya. Analisis objektif terhadap permainan nya acap kali belum memungkinkan dilakukan segera, jadi jangan tergesa-gesa.
Pelatih atau pembina acap kali menghadapi kesulitan ketika menghadapi
atlet vang memang tergolong atlet yang "sulit". Di dalam menghadapi
keadaan seperti itu beberapa hal perlu diperhatikan:
- Teliti masalah-masalah psikisnya, kalau mungkin diatasi secara langsung, namun kalau tetap sulit, janganlah se gan berkonsultasi dengan yang lebih senior atau minta bantuan psikolog untuk menangani.
- Bagi mereka yang sulit atau tidak mau berubah, periksa cara-cara pendekatan dan sikap-sikap kita, termasuk sikap teman-teman dalam kelompok atau regunya.
- Bagi atlet yang sering melanggar peraturan harus ada kejelasan antara tingkah laku yang masih dinilai baik yang dapat diterima oleh pelatih den tingkah laku yang melanggar peraturan dengan hukumannya. Hukuman perlu bersifat mendidik dan mengajar agar perbuatan yang salah atau tidak baik tidak akan diperlihatkan lagi, demi kepentingan pribadi atau regunya.
- Atlet yang mementingkan kepentingan diri sendiri, perlu dijelaskan peranan atlet lain, tanpa mengurangi kemam puan yang dimiliki dan mendahulukan kepentingan regu sebagai keseluruhan.
- Bagi atlet yang berbakat besar, jelaskan bahwa bakat den kemampuannya memegang peranan besar untuk prestasi pribadi den kemenangan regunya.
Dalam mempersiapkan atlet ke suatu pertandingan, pelatih dan pembina
perlu memperhatikan langkah-lang kah agar atlet dapat memperlihatkan
puncak penampilan (peak performance) atau prestasinya, yakni:
I. Langkah Ke-1
Pada langkah pertama ini perlu ditetapkan tujuan atau sasarannya. Dalam
hal ini perlu mengevaluasi kemampuan-kemampuannya dari segi teknisnya,
kondisi kesegaran jasmani dan kondi psikisnya. Dalam menetapkan tujuan
ini perlu dibedakan tujuan akhir yang ingin dicapai melalui jangka
panjang, menengah atau pendek. Program harus ada dan disesuaikan dengan
tujuan dan dilakukan penilaian terhadap perkembangannya. Bilamana perlu
dilakukan perubahan atau perbaikan.
II. Langkah Ke-2
Pada langkah ke-2 ini perlu diperhatikan:
- Mengenal saatnya bisa memperlihatkan prestasi puncak.
- Memantau tingkat ketegangan-kecemasan.
- Penggunaan teknik pengaturan diri a.l. melalui teknik pernapasan.
- Program mengurangi ketegangan, dilihat pada waktu latihan atau pertandingan.
- Kemampuan visualisasi.
- Persiapan menyusun strategi.
- Pengukuran waktu luang yang baik, kalau perlu mem pergunakan musik untuk relaks.
III. Langkah Ke-3
Satu atau dua minggu sebelum pertandingan perlu me mantau:
1. Kemajuan dan persiapan mental serta fisik atlet.
2. Tingkat ketegangan-kecemasan yang dapat dilihat pada dan reaksi somatisasi.
3. Beban latihan yang disesuaikan dengan keterampilan dan kondisi kefaalannya.
4. Waktu-waktu luang yang benar-benar bebas dari latihan, meliputi
aktivitas-aktivitas lain di luar latihan dan pem bicaraan mengenai
pertandingan.
IV. Langkah Ke-4
Tergantung pada jenis olahraga yang akan diikuti. Lakukan
kegiatan-kegiatan ringan dan jangan berada terlalu lama di gelanggang
atau gedung tempat bertanding. Alihkan kegiatan yang bisa mengisi waktu
misalnya rekreasi-rekreasi ringan seperti film atau bacaan. Masuklah ke
tempat tidur pada waktunya, jadi jangan terlalu cepat.
V. Langkah Ke-5
Malam menjelang pertandingan harus terjamin bisa tidur dengan baik,
periksa hal-hal teknis dan latihan vi sualisasi. Beberapa menit sebelum
bertanding atlet perlu konsentrasi, ada atlet yang menyukai menyendiri
atau ada yang menyukai pelatihnya berada di sampingnya. Latihan
pernapasan, visualisasi, konsentrasi dipersempit, pemanas an yang cukup
disesuaikan dengan tingkat pertandingan dan kondisi pribadi.
VI. Langkah Ke-6
Persiapan terakhir menjelang pertandingan:
1. Memantau tingkat ketegangan-kecemasan.
2. Pusatkan perhatian pada tujuannya sekarang.
3. Fisik harus relaks.
4. Siap mental dan bergairah untuk bertanding.
5. Jangan melakukan analisis berlebihan.
6. Percaya pada semacam naluri, suatu dorongan muncul secara otomatis.
7. Bermain sesuai dengan irama masing-masing.
8. Laksanakan strategi dan sesuaikan dengan kondisi seperlunya.
9. Jangan ragu akan kemampuan sendiri, berpikir negatif dan merenungkan diri sendiri terlalu mendalam.
10.Bermainlah wajar, tanpa beban berat harus bermain tertentu yang tidak biasa dilakukan.
VII. Langkah Ke-7
Setelah pertandingan, perlu dinilai penampilannya agar penyusunan
program baru bisa disesuaikan. Pusatkan perhatian pada aspek-aspek
positif pada penampilan terdahulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar